A. PENDAHULUAN
Dalam percakapan sehari-hari sering terdengar istilah profesi atau
profesional. Seseorang mengatakan bahwa profesinya sebagai seorang dokter, yang
lain mengatakan bahwa profesinya sebagai arsitek, atau ada pula sebagai
pengacara, guru, ada juga yang mengatakan profesinya pedagang, penyanyi,
petinju, penari, tukang koran, dan sebagainya. Para staf dan karyawan instansi
militer dan pemerintahan juga tidak henti-hentinya menyatakan akan meningkatkan
keprofesionalannya. ini berarti bahwa jabatan mereka adalah suatu profesi juga.
Berbicara mengenai profesi tentu di dalam menjalankan pekerjaannya orang tidak
akan terlepas dari pada etika yang harus dijaga karena etika yang baik akan
mengasilkan hasil yang baik dan bermutu.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mutu pendidikan di Tanah Air sampai
saat ini masih rendah. Cukup banyak bukti yang dapat digunakan untuk
mendukung kesimpulan ini. Rata-rata hasil ujian akhir nasional, ujian akhir
sekolah atau apa-pun namanya untuk semua mata pelajaran berkisar pada rentangan
5 sampai 7 saja. Berbagai hasil survei yang telah dilakukan oleh lembaga internasional
juga menempatkan prestasi siswa Indonesia pada posisi bawah. Terakhir, hasil
survei TIMSS 2003 (Trends in International Mathematics and Sciencies Study) di
bawah payung International Association for Evaluation of Educational
Achievement (IEA) menempatkan Indonesia pada posisi ke-34 untuk bidang
matematika dan pada posisi ke-36 untuk bidang sains dari 45 negara yang
disurvei (Kompas, 22/12/2004).
Etika merupakan suatu ilmu yang membahas perilaku perbuatan baik dan buruk
manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika dapat dibagi
menjadi beberapa pengertian, dan etika profesi terdapat suatu kesadaran yang
kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa
keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukan.
Pada saat masyarakat melihat kualitas pendidikan masih rendah, maka dengan
sendirinya muncul pertanyaan dalam diri masyarakat, apa sebenarnya yang
menyebabkan kualitas pendidikan ini masih rendah? Apakah pendidiknya (guru)
yang kurang bersungguh-sungguh dalam melaksanakan proses pembelajaran? ataukah
dari segi metode/strategi dan kurikulum yang kurang tepat? ataukah dari
kemampuan peserta didik yang rendah dalam merespon pelajaran sehingga sulit
untuk menerima pelajaran serta sulit termotivasi untuk belajar dengan tekun?.
Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan mengiringi kondisi kualitas pendidikan di
Tanah Air yang kurang memuaskan.
B. POSISI ETIKA DALAM PENGEMBANGAN PROFESIONALISME
GURU
Dalam meningkatkan mutu pendidikan, dituntut pula adanya usaha-usaha
peningkatan profesionalisme guru agar dapat memberikan pelayanan yang lebih
berkualitas dan untuk tercapainya hasil belajar yang lebih optimal. Seorang
guru professional, yang mempunyai standar kompetisi I (Penguasaan Bidang
Studi), seyogianya seperti apa yang dikatakan Nana Sudjana, pekerjaan yang
bersifat professional hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus
dipersiapkan untuk itu. Demikian juga pendapat Supriadi, bahwa profesi menunjuk
pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab dan
kesetiaan pada profesi. Cully, mengatakan bahwa profesi adalah suatu bidang
pekerjaan yang menunutut digunakannya teknik dan prosedur yang bertumpu pada
landasan intelektual yang secara sengaja harus dipelajari dan kemudian secara
langsung dapat dikatakan bagi kemaslahatan orang lain.
Sehubungan dengan itu, seperti apa yang dikatakan oleh Schein dan Kommers,
profesi merupakan bidang pekerjaan yang menuntut para pekerjanya memiliki
landasan pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan melalui pendidikan dan
pelatihan dalam waktu yang panjang. Peningkatan kemampuan guru dapat dilakukan
secara struktural ataupun atas inisiatif guru itu sendiri yang dilakukan
melalui berbagai kegiatan, seperti penataran, seminar, kursus, melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, belajar sendiri atau membaca berbagai
sumber belajar.
Terkait dengan guru sebagai profesi, maka untuk menghindarkan
praktik-praktik yang menyimpang dalam pelaksanaan tugasnya, maka guru dituntut
untuk selalu mendasarkan diri pada aturan (kode etik profesi), yang sudah
dirumuskan, yakni:
1. Guru
berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia yang
ber-Pancasila
2. Guru
memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan
kebutuhan anak didik masing-masing
3. Guru
mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang anak didik,
tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan
4. Guru
menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua
murid sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik
5. Guru
memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya ataupun
masyarakat yang lebih luas utnuk kepentingan pendidikan
6. Guru secara
sendiri dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan serta meningkatkan mutu
profesinya
7. Guru
menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, baik berdasarkan
lingkungan kerja ataupun di dalam hubungan keseluruhan
8. Guru secara
bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru
professional sebagai sarana pengabdiannya
9. Guru
melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang pendidikan (Sardiman, 2001 ).
Secara terorganisir, usaha peningkatan dan pengembangan profesionalisme
guru ini dapat dilakukan secara serius dan terjadwal melalui kegiatan Kelompok
Kerja Guru (KKG), untuk guru-guru Sekolah Dasar dan Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), bagi guru-guru SMP dan SMA/SMK. Adapun kegiatan yang
dilaksanakan, di antaranya:
1. Memecahkan
permasalahan kegiatan belajar mengajar.
2. Memecahkan
permasalahan kesulitan belajar peserta didik
3. Memecahkan
permasalahan yang berkaitan dengan penyusunan program pembelajaran (Tahunan/Semesteran)
4. Memecahkan
permasalahan mengenai pelaksanaan proses belajar mengajar, dan
5. Menyusunan
alat evaluasi
Hal ini akan berimplikasi, bila guru profesional yang memiliki kompetensi
tinggi dan komitmen tinggi akan memberikan kontribusi optimal terhadap sekolah
ataupun peserta didik dalam proses pembelajaran, baik dalam pembentukan
pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dan nilai, demikian juga sebaliknya.
Sehubungan dengan guru sebagai jabatan profesional dengan tuntutan
tanggungjawab yang begitu besar, maka mulai dari rekrutment calon guru
hendaknya dilakukan seleksi yang memadai. Selanjutnya, dilakukan peningkatan
dan pengembangan profesionalisme guru dengan lebih serius di antaranya melalui
studi lanjut, seminar, loka karya, workshop, pelatihan, dan sejenisnya
secara berkala serta berkesinambungan.
Sehubungan dengan pertanyaan yang muncul bagaimana mengembangkan dan
meningkatkan profesionalisme guru. Guru profesional adalah guru yang memiliki
kompetensi (standar kompetensi). Dewasa ini telah diajukan perumusan standar
kompetensi guru (khususnya guru pemula) yang menyangkut 4 standar kompetensi
yaitu :
1. Standar I
(Penguasaan Bidang Studi)
2. Standar II
(Pemahaman Tentang Peserta Didik),
3. Standar III
(Penguasaan Pembelajaran yang Mendidik)
4. Standar IV
(Pengembangan Kepribadian dan Keprofesionalan).
Dari berbagai permasalahan yang dihadapi guru, maka
perhatian serius dari pihak-pihak pengambil kebijakan sudah selayaknya
ditujukan pada usaha-usaha mencari solusi terhadap hal tersebut dalam
peningkatan dan pengembangan kompetensi guru, manajemen guru, khususnya
dalam rekrutmen, peningkatan dan pengembangan profesi, kesejahtraan, dan
eksisnya organisasi profesi guru untuk pengembangan serta peningkatannya. Hal
ini sangat penting, karena dalam rangka otonomi daerah, yakni berkaitan dengan
peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan, relevansi
pendidikan, dan pemerataan pelayanan pendidikan harus diupayakan melalui
peningkatan mutu pendidikan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi
pendidikan melalui konsensus pemerintah dan masyarakat dengan mengarah pada
pendidikan berbasis sekolah (Mulyasa, 2002 dalam Koyan 2004: 6).
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan
perlu mendapat perhatian dan penanganan yang seksama dengan menelusuri factor
internal dan ekternalnya, sehingga mampu menunjukkan jati dirinya, berwibawa
dan dihargai oleh siswa dan masyarakat pada umumnya. Pembinaan profesionalisme
guru hendaknya menjadi perhatian, di samping hal-hal yang berkaitan dengan
kesejahtraannya.
C. PERAN ETIKA KEGURUAN DALAM
PRAKSIS PENDIDIKAN
Adapun peran etika keguruan dalam praksis pendidikan yaitu :
1. Guru sebagai
Pengajar
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa mengajar merupakan kegiatan yang “transfer
of knowledge” melalui aktivitas belajar mengajar. Zamroni (2003),
mengatakan bahwa mengajar merupakan suatu seni untuk mentransfer pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai yang diarahkan oleh nilai-nilai pendidikan,
kebutuhan-kebutuhan individu siswa, kondisi lingkungan dan keyakinan yang
dimiliki guru
Untuk dapat melakukan kegiatan ini, guru hendaknya memiliki kemampuan untuk
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan belajar mengajar untuk
memperoleh balikan dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Merencanakan kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan awal dari guru
sebelum memasuki kelas atau mengajar. Dalam menyusun rancangan pengajaran, maka
rencana yang disusun meliputi antara lain, perencanaan di bidang
pengorganisasian bahan pengajaran, pengelolaan kegiatan belajar mengajar,
penggunaan media pembelajaran, metoda mengajar, dan penilaian hasil belajar.
Dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya memiliki
kemampuan mengajar yang baik. Adapun kemampuan yang dimaksud meliputi,
penggunaan metode, media, dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan,
melakukan komunikasi dengan siswa, mendemonstrasikan khazanah metode
mengajar, mendorong dan menggalakkan keterlibatan siswa dalam pengajaran, mendemonstrasikan
penguatan mata pelajaran dan relevansinya, pengorganisasian ruang, waktu dan
perlengkapan pengajaran, melaksanakan evaluasi pencapaian siswa dalam proses
belajar mengajar (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982/1983).
Sebagai akhir dari kegiatan belajar mengajar yang tidak kalah pentingnya
adalah memberikan balikan. Menurut Stone dan Nielson (dalam Ali, 1992)
mengatakan bahwa balikan mempunyai fungsi untuk membantu siswa memelihara minat
dan antusias siswa dalam melaksanakan tugas belajar. Hal ini menjadi penting
karena suatu alasan bahwa belajar itu ditandai dengan adanya keberhasilan dan
kegagalan. Keberhasilan dalam pembelajaran akan memberikan semangat bagi siswa
untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasinya, sedangkan kegagalan akan
mendorong siswa lebih giat belajar untuk tidak mengulangi kegagalannya. Upaya
untuk memberikan balikan ini dapat dilakukan dengan mengadakan penilaian atau
evaluasi hasil belajar siswa.
Penilaian merupakan komponen penting dalam proses pembelajaran karena dari
kegiatan ini dapat diketahui kegagalan dan keberhasilan dari kegiatan
pembelajaran yang telah dilaksanakan. Disamping itu, penilaian merupakan salah
satu cara untuk memotivasi siswa untuk belajar karena bagaimanapun seorang
siswa tidak menginginkan mendapatkan hasil yang tidak memuaskan, dan oleh
karenanya mereka akan berusaha mencapai sukses itu dengan belajar.
Daradjat (1980) mengemukakan tentang hal-hal yang harus diperhatikan guru
dalam proses belajar-mengajar sebagai berikut :
a. kegairahan
dan kesediaan (siswa ) untuk belajar
b. membangkitkan
minat murid
c. menumbuhkan
sikap dan bakat yang baik,
d. mengatur
proses belajar mengajar\
e. berpindahnya
pengaruh belajar dan pelaksanaannya ke dalam kehidupan nyata, dan
f. hubungan
manusiawi dalam proses belajar.
Mutu pendidikan dapat tercapai, seorang guru yang professional harus
memiliki lima kemampuan dasar, yakni :
a. guru harus
menguasai kurikulum dan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
b. Guru harus
menguasai materi setiap mata pelajaran
c. Guru harus
menguasai multimetode, multimedia, dan evaluasi
d. Guru harus
komitmen terhadap pelaksanaan tugas, dan
e. Guru harus
disiplin (Depdikbud, Dirjen Dikdasmen , 1998/1999).
Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah masih sangat terbatas memberikan
peluang bagi guru-guru dalam upaya meningkatkan SDM. Hal ini terlihat dari
terbatasnya peluang dan anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan guru.
Sementara masyarakat selalu menuntut guru yang berkualitas.
2. Guru sebagai
Pendidik
Antara mendidik dan mengajar hampir sulit untuk dibedakan, tetapi diamati
secara cermat, kedua kegiatan tersebut memiliki wilayah kerja yang sedikit
berbeda. Guru dikatakan tidak saja semata-mata sebagai “pengajar” yang transfer
of knowledge, tetapi juga sebagai “pendidik” yang transfer of
value dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan
menuntun murid dalam belajar (Sardiman, 1990)
Jika diperhatikan definisi di atas, mendidik merupakan tugas guru yang
lebih banyak mengarahkan pada segi-segi pengembangan nilai-nilai atau
norma-norma. Dalam hal ini, siswa diharapkan mampu berperilaku yang positif,
berkepribadian yang baik, berbudi pekerti luhur, baik berarti bagi kehidupan
individu siswa di sekolah ataupun di masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, guru dituntut memiliki
kesabaran dan kestabilan emosi karena akan menghadapi siswa dari berbagai latar
belakang atau lapisan masyarakat yang memiliki corak sosial budaya yang
beraneka ragam. Guru hendaknya senang memberi bantuan dalam memecahkan masalah
yang dihadapi siswa, besikap ramah, gembira, baik hati, terbuka, simpati,
empati, berwibawa, dan bertanggung jawab. Dari kepribadian yang dinilai baik
oleh siswa tersebut, maka seorang guru akan dapat mengembangkan kegiatannya
dalam bentuk :
a. Membantu
mengembangkan sikap positif pada siswa
b. Bersikap
terbuka dan luwes terhadap siswa dan orang lain
c. Menunjukkan
kegairahan dan kesungguhan dalam kegiatan belajar mengajar dan dalam pelajaran
yang diajarkan, dan
d. Mengelola
interaksi pribadi dalam kelas (Depdikbud, 1982/1983).
Dari uraian di atas, dapat disarikan bahwa tugas mendidik merupakan suatu
aktivitas yang ditujukan untuk mengembangkan aspek psikologis dan kepribadian
peserta didik, sehingga mereka terbentuk sebagai manusia-manusia yang
berkepribadian baik, mempunyai etika, bermoral, bertanggung jawab, dan mampu
hidup bersama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3. Guru sebagai
Pembimbing
Guru, di samping sebagai pendidik dan pengajar juga sekaligus bertindak
sebagai pembimbing, yakni memberi layanan bantuan kepada siswa dalam mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi siswa, baik yang menyangkut masalah kegiatan
belajar, pemahaman diri, penyesuaian diri ataupun masalah-masalah lainnya
sehingga mereka mampu mengembangkan dirinya secara optimal. Guru yang
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar, seringkali melakukan
kegiatan bimbingan, misalnya bimbingan belajar, bimbingan dalam menguasai suatu
keterampilan, dan terkait dengan kegiatan materi pembelajaran yang diajarkan
saat itu. Jadi, antara mendidik, mengajar dan membimbing merupakan tugas guru
yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Sardiman (2001), mengemukakan pengertian membimbing sebagai suatu kegiatan
untuk menuntun anak didik dalam perkembangannya dengan jalan memberikan
lingkungan dan arah yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Terkait dengan itu,
guru diharapkan mampu memberi arahan atau tuntunan kepada anak didiknya sesuai
dengan kaidah-kaidah atau norma-norma yang baik dan mengarahkan perkembangannya
sesuai dengan cita-citanya, serta membantu memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya. Melalui kegiatan membimbing ini, siswa diharapkan mampu mencapai
perkembangan dirinya dengan lebih baik.
D. KESIMPULAN
Guru adalah salah satu komponen dalam instrumental input yang memegang
posisi yang strategis. Karena hal tersebut merupakan salah satu faktor
kunci sukses dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan untuk dapat melahirkan
sumber daya manusia yang handal, menguasai ilmu pengetahuan, dan memiliki moral
yang baik. Hal ini dikatakan demikian, karena gurulah yang merencanakan,
menata, mengelola dan mengevaluasi proses tersebut. Karena strategisnya posisi
guru dalam konteks pembelajaran, wajarlah profesi guru diakui sebagai jabatan
professional
Peningkatan dan pengembangan profesionalisme guru merupakan usaha yang
harus dilakukan, mengingat peran strategis guru dalam mengelola proses
pembelajaran yang secara langsung mempengaruhi hasil dari kegiatan belajar yang
dilaksanakan. Dengan tingkat profesionalisme guru yang tinggi, diharapkan
terjadinya peningkatan perolehan hasil pendidikan, yang berarti pula terjadinya
peningkatan sumber daya manusia yang diharapkan mampu bersaing, baik di tingkat
nasional ataupun internasional.
Untuk hal ini, diperlukan adanya kerja sama dan komitmen dari berbagai
pihak yang terkait, dengan melakukan usaha-usaha yang mengarah pada tercapainya
mutu pendidikan yang lebih berkualitas, mulai dari rekrutmen calon guru,
selanjutnya, regulasi, kurikulum, pemberian bea siswa bagi guru yang belum
memenuhi kualifikasi pada jenjang sekolah. Karena itu, guru yang
mengajar lebih menggalakkan pada pelatihan-pelatihan guru, seminar,
semiloka, workshop dan peningkatan kesejahteraan guru.
Referensi;
http://www. Ipmpdki.web.id/
Artikel-Pendidikan/ Guru-yang profesional-dan-efektif.html.
http://re-searchengines.com/amhasan.html
http://pakgalih.wordpress.com/2009/04/07/pengertian-dan-fungsi-kode-etik/
http://pakgalih.wordpress.com/2009/04/07/pengertian-dan-fungsi-kode-etik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar